Selasa, 11 Oktober 2011

Perbankan di Indonesia Pasca Tahun 1997


BAB 1.  PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di negara ini.
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal bulan Juli 1997 berubah jadi krisis ekonomi, yakni lumpahnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang, krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti gagal panen dibanyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei lalu dan kelanjutannya.Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang sendi-sendi ekonomi dan politik nasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar biasa akibat hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB).

1.1  Tujuan
Untuk mengetahui kondisi perbankan di Indonesia pasca krisis tahun 1997.
Hal yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pasca tahun 1997.


BAB 2. PEMBAHASAN

Krisis moneter tahun 1997-1998 telah sukses meluluhlantahkan ekonomi Indonesia. Gejolak ekonomi yang kemudian juga menjadi awal kejatuhan rezim Presiden Soeharto membuat sontak perubahan peta ekonomi nasional. Saat itu, rupiah anjlok, harga-harga meroket, dan parahnya taipan-taipan perbankan mengemplang dana BLBI dan kabur ke luar negeri. Pada saat itu, dibandingkan dengan negara tetangga, ekonomi Indonesia paling hancur.
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.
Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998 Pemerintah mempercepat program stabilisasi dan reformasi ekonomi dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup program stabilisasi Rupiah, pembekuan 7 bank dan penempatan nya pada BPPN serta penyelsaian hutang swasta dengan Pemerintah sebagai mediator.
Kemudian LoI keempat pada 25 Juni 1998 yang mencakup revisi atas target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan Pengaman Sosial (JPS).  Selain mengatasi krisis moneter, pemerintah juga juga membantu menyelesaikan pinjaman luar negeri sektor swasta. Diantaranya pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) yang menghasilkan kesepakatan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 tentang penyelesaian utang luar negeri swasta.
Masih dalam upaya yang serupa, pemerintah membentuk INDRA (Indonesian Restructuring Assets) yang bertugas melindungi debitur Indonesia dari resiko perubahan nilai tukar pada jumlah hutangnya. Kemudian pada 9 September 1998 pemerintah membentuk Prakarsa Jakarta untuk menyediakan akses bagi perusahaan agar dapat mendaptkan modal baru guna menggerakkan kembali usahanya. Langkah tersebut diambil sebagai bagian dari program restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.

Setelah pemerintahan berganti, nyatanya gejolak-gejolak ekonomi, harga, keuangan dan lain-lain tetap saja mudah muncul di Indonesia. Ada hembusan kabar tak sedap sedikit saja, baik itu menyangkut ranah politik ataupun ekonomi, pasar saham dan uang terganggu. Rupiah bisa turun-naik tanpa kendali. Pokoknya faktor luar sangat berpengaruh terhadap keuangan kita.
Berbicara soal pasar uang dan saham di Indonesia adalah wajar jika kita menyebutnya sangat kuat faktor spekulasinya. Prediksi-prediksi menyangkut pasar yang satu ini bisa salah atau benar, namun kebanyakan hanya jangka pendek semata. Yang jelas, sistem keuangan yang satu ini tak banyak memberikan kontribusi banyak bagi kepentingan rakyat secara riil.

Sayangnya, di sisi lain, di sisi ekonomi riil, ketidakpastian juga terjadi. Buktinya, harga-harga kebutuhan pokok selalu saja bisa lepas kendali, tiba-tiba meroket di luar kewajaran, dan pemerintah baru turun jika rakyat sudah berteriak. Itupun pemerintah akan memberikan segudang alasan kenapa hal itu terjadi. Sebelum Ramadhan, harga bergolak, faktor permintaan yang tinggi akibat gaya hidup masyarakat yang dituding sebagai penyebabnya. Saat harga sayuran meroket, awal tahun lalu, faktor gagal panen dan distribusi pun dijadikan kambing hitam.

Saat ini harga kebutuhan utama masyarakat Indonesia, yaitu beras mulai lepas kontrol. Jauh dari kemampuan daya beli masyarakat, dan harga terstandar yang seharusnya bisa dijangkau. Lagi-lagi pemerintah tak berdaya. Seperti biasa, setelah gejolak harga terjadi, operasi pasar (OP) menjadi senjata pamungkasnya. Perkiraan OP ini paling-paling hanya akan berpengaruh terhadap harga ketika operasi dijalankan, selanjutnya terserah pasar. Pemerintah pun tak mungkin melakukan operasi pasar terus-menerus karena biaya yang tinggi. Lelah rasanya melihat pemerintah yang sebenarnya bisa belajar dari apa yang sebelumnya terjadi. Kesalahan demi kesalahan terulang, dan rakyat harus berlapang dada menerima kenyataan, ketidakpastian harga di negeri ini.

BAB 3. KESIMPULAN

Pada uraian diatas bahwa pasca krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997 sangat buruk. Ini tentu mempengaruhi juga sistem perbankan yang ada di Indonesia. Krisis moneter tahun 1997-1998 telah sukses meluluhlantahkan ekonomi Indonesia. Berbagai permasalahan yang terjadi seperti rupiah anjlok, harga-harga meroket, dan parahnya taipan-taipan perbankan mengemplang dana BLBI dan kabur ke luar negeri. Pada saat itu, dibandingkan dengan negara tetangga, ekonomi Indonesia paling hancur.
Krisis Asia berpengaruh ke mata uang, pasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini. Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya Suharto di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar