Minggu, 06 Maret 2011

sejarah ekonomi indonesia


SEJARAH EKONOMI INDONESIA

Pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi di suatu Negara sangat ditentukan oleh banyak factor, baik internal diataranya adalah kondisi fisik, lokasi geografi, jumlah dan kualitas sumber daya alam(SDA), dan sumber daya manusia (SDM), kondisi awal ekonomi,social dan budaya, system politik serta peran pemerintah didalam ekonomi dan  maupun eksternal diantaranya perkembangan teknologi,kondisi perekonomian dan politik dunia, serta keamanan global.

1.     Pemerintahan Orde Lama
Selama decade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik didalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah, seperti di Sumatra dan Sulawesi. Akibatnya selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan denagn laju rata-rata per tahun hamper 7% selama decade 1950-an, dan setelah itu turun drastis menjadi  rata-rata pertahunnya hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestic bruto (PDB) masing-masing hanya 0,5 % dan 0,6%.    
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, deficit saldo neraca pembayaran (BOP) dan deficit anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun. Selama periode Orde Lama kegiatan produksi di sector pertanian dan sector industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitaas produksi dan infrastruktur  pendukung, baik fisik maupun non-fisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat memcapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.
 Pada masa pemerintahanb Soekarno, selain manajemen moneter yang buruk, banyaknya rupiah yang dicetak disebabkan oleh kebutuhna pada saat itu untuk membiayai 2 peperangan yakni merebut Irian Barat serta pertikaian dengan Malaysia dan Inggris, ditambah lagi kebutuhan untuk membiayai penumpasan sejumlah pemberontakan di beberapa daerah dalam negeri.
      Buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun non-fisik  selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan Perang Revolusi, serta gejolak politik didalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat jelek selama rezim tersebut dalam kondisi politik dan social dalam negeri deperti ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.   
      Mengikuti kerangka analisis dari Dumairy, periode Orde Lama dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu :
a)      Periode 1945-1950
b)      Periode demokrasi palementer (1950-1959). Dalam periode ini terjadi perubahan  cabinet 8 kali, yakni :
·         Kabinet Hatta
·         Kabinet Natsir
·         Kabinet Sukiman
·         Kabinet Wilopo
·         Kbinet Ali I
·         Kabinet Burhanuddin
·         Cabinet Ali II
·         Kabinet Djuanda
c)      Periode demokrasi terpimpin (1959-1965)

Dari aspek politiknya selama Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mangalami system politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. System demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian Nasional.
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zamam kolonialisasi. Sector formal/modern seperti pertambangan, distribusi, trsnportasi, bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sector informal/tradisional terhadap output nasional didominasi oleh perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor. Umumnya kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relative lebih padat capital dibandingkan kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi.
Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, karena tingkat upah buruh dan komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sector pertanian, dan nilai mata uang yang stabil. Nasionalisasi perusahaan Belanda yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal dari periode “Ekonomi Terpimpin”, setelah dicanangkan semakin dekat dengan haluan/pemikiran sosialis/komunis. Walaupun ideology Indonesia adalah Pancasila, pengaruh ideology komunis dari bekas Negara Uni Soviet dan Cina sangat kuat.
Buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama juga disebebakan oleh keterbatasan factor produksi, sperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana, teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk mnyusun rencan dan strategi pembangunan yang baik.
Akhir September 1965, ketidakstabilan politik mancapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah, terjadi suatu perubahan politik yang drastis di dalam negeri yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa Orde Lama dari pemikiran sosialis ke semikapitalis.

2.     Pemerintahan Orde Baru
Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada :
·                                             peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan social di tanah air,
·                                             menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideology komunis,
·                                             kembali menjadi anggota PBB, dan lembaga dunia lainnya seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF)
sebelum Repelita dimulai pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negari. Untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi deficit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama, ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun (repelita) secara bertahap.
Tujuan jangka panjang pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar yang dianggap sebagai satu-satunya cara paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah ekonomi.
April 1969 Repelita I dimulai dengan penekanan utama pada pembangunan sector pertanian dan industri terkait. Strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi terpusat pada pembangunan industri yang memproses bahan baku yang tersedia di dalam negeri, industri yang padat karya, industri yang mendukung pembangunan regional, industri dasar seperti pupuk, semen, kimia dasar, pulp, kertas,dan tekstil.
Tujuan utama Repelita I adalah untuk membuat Indonesia menjadi swasembada, terutama dalam kebutuhan beras. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan di sector pertanian. Dimulainya program ini, sector pertanian nasional memasuki era modernisasi dengan penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan system irigasi, pupuk, dan tata cara menanam.
Dampak Repilita I dan repelita berikutnya perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama Orde Lama, dan juga relative lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok LDCs.
Meningkatnya kontribusi output dari sector industri manufaktur terhadap pembentukan/pertumbuhan PDB selam periode Orde Baru mencerminkan adanya suatu proses indutrislisasi atau transformasi ekonomi di Indonesia, dari Negara agraris ke Negara semiindustri. Ini merupakan salah satu perbedaan yang nyata dalam sejarah perekonomian Indonesia antara rezim Orde Lama dengan rezim Orde Baru.
Keberhasilan pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru tidaksaja disebabkan oleh kemampuan cabinet yang dipimpin oleh Presiden Soharto yang jauh lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dalam menyusun dan melaksanakan rencana, strategi, dan kebijakan pembangunan ekonomi, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sanagt besar dari minyak, terutama pada periode krisis pertama tahun 1973/1974.
Kebijakan Soeharto yang mengutamakan stabilitas ekonomi terbuka membuat kepercayaan pihak Barat terhadap prospek ekonomi Indonesia sangat besar dibandingkan dengan banyak LDCs lainnya. Sejak masa Orde Lama hingga berakhirnya masa Orde Baru dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami 2 orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni dari ekonomi tertutup berorintasi sosialis ke ekonomi terbuka berorientrasi kapitalis. Perubahan ini membuat kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi jauh lebih baik pada masa pemerintahan Orde Lama.
Pengalaman ini menunjukkan ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapet berjalan dengan lebih baik, yaitu :
·         kemauan politik yang kuat
·         stabilitas politik dan ekonomi
·         sumber daya manusia yang lebih baik
·         system politik dan ekonomi terbuka yang beroriantasi ke Barat
·         kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.
Kebijakan ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh.


3.     Pemerintahan Transisi
September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Awalnya, pemerintah berusaha menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Tetapi merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, karena cadangan dolar AS di BI sudah mulai menipis keran terus digunakan untuk intervensi guna menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar rupiah.
8 Oktober 1997 Indonesis menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mnencapai 40 miliar dolar AS. Seiring dengan paket reformasi yang  ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mencabut izin usaha 16 bank swasta. Ini awal dari kehancuran perekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatan dengan IMF. Akhirnya pencairan pinjaman angsuran ke 2 terpaksa diundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama dengan IMF, terutama karena 2 hal berikut :
·         Krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri tidak percaya lagi akan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi sendiri krisisnya. Bahkan, mereka juga tidak percaya lagi pada niat baik atau keseriusan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi di dalam negeri. Satu-satunya yang menjamin memulihkan kembali kepercayaan masyarakat Indonesia adalah melakukan “kemitraan usaha” antara Indonesia dengan IMF.
·         Indonesia sangat membutuhkan dollar AS.
Gagal dalam kesepakatan itu, dilakukan lagi perundingan baru antara pemerintah Indonesia dengan IMF dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru. Hasil perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Memorandum Tambahan Tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”. Memorandum ini merupakan kelanjutan, pelengkap, dan modivikasi dari 50 butir LoI yang tetap mencakup kebijaksanaan fiscal dan moneter serta reformasi perbankan dan structural.
Ada 5 memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru ini, yakni :
·         Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
·         Rekstrukturisasi perbankan, dengan tujuan utama untuk rangka penyehatan system perbankan nasional
·         Reformasi structural, mencakup upaya dan sasaran yang disepakati pada kesepakatan pertama.
·         Penyelesaian ULN swasta, perlunya keterlibatan pemerintah yang besar namun dibatasi agar proses penyelesaian berlangsung cepat
·         Bantuan untuk rakyat kecil

4.     Pemerintahan Reformasi
Awal pemerintahan reformasi oleh Presiden Wahid, masyarakat umut dan kalangan pengusaha serta investor, termasuk investor asing, untuk menaruh harapan terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim Orde Baru. Dalam hal ekonomi, kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukan adanya perbaikan. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi moneter didalam negeri sudah mulai stabil.
Ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih menjadi Presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulai menunjukan sikap dan mengeluarkan ucapan yang kontrolversial dan membingungkan pelaku bisnis. Ia cenderung bersikap dictator dan praktek KKN dilingkungannya semakin intensif, bukannya berkurang yang merupakan tujuan gerakan reformasi. Rezim Gus Dur walaupun namanya pemerintahan reformasi di erna demokrasi, tidak berbeda dengan rezim Orde Baru. Sikap Gus Dur menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya adalah dikeluarkannya peringatan resmi kepada Gus Dur lewat memorandum I dan II. Dikeluarkannya memorandum II Gus Dur terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, jika usulan percepatan Sidang Istimewanya MPR jadi dilaksanakan bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan Gus Dur, tidak ada satu pun masalah didalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian didalam negeri;juga pertikaian elite politik semakin besar. Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club karena sudah kelihatan jelas Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan deficit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar utangnya yang akan jatuh tempo tahun 2002. Bahkan Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Makin rumitnya persoalan ekonomi ditujukan oleh beberapa indicator ekonomi. Misalnya pergerakan IHSG menunjukan tren pertumbuhan ekonomi yang negative. Selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 point yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham didalam negeri. Berdampaknya negative terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis ke 2 yang dampaknya terhadap ekonomi, social, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak ini terutama karena 2 hal yaitu perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, dan ULN Indonesia dalam nilai dollar AS sangat besar.

5.     Pemerintahan Gotong Royong
Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jaub lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur. Meskipun IHSG dan nilai tukar rupiah meningkat cukup signifikan sejak diangkatnya Megawati menjadi Presiden. Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut data BPS, inflasi tahunan pada awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 2%, sedangkan awal pemerintahan Megawati tingkat inflasi sudah mencapai 7,7%.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan oleh masih kurang berkembangnya investasi swasta, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Lemahnya investasi disebabkan masih tidak stabilnya kondisi politik dan social dan belum adanya kepastian hokum didalam negeri. Kondisi ini membuat para investor dalam negeri menunda keinginannya menanam modal didalam negeri.
Tingkat inflasi tahun 2002 sudah mencapai diatas 10%. Akibat kenaikan harga bahan baker minyak (BBM) dan tariff telepon serta listrik yang diberlakukan awal tahun 2003, tingkat inflasi tahun 2003 terutama pada bulan pertama bisa jauh lebih tinggi dari 10%. Berbeda dengan pergerakan IHK, tingkat suku bunga tahun 2002 cenderung menurun walaupun masih lebih tinggi dibandingkan tahun 1999. Tingkat suku bunga  tinggi, disatu pihak memang bisa menambah jumlah tabungan nasional plus peningkatan arus modal asing masuk di Indonesia, namun disisi lain bisa menimbulkan efek “crowding out”terhadap kegiatan investasi yang bisa berdampak negative terhadap pertumbuhan ekonomi.
IHSG juga cenderung menurun sejak 1999 yang bisa mencerminkan 2 hal yaitu :
·         Kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi Investor sementara terhadap kejadian yang cukup membuat para investor ketakutan untuk menanam uang mereka di pasar modal.
·         Menurun atau rendahnya IHSG juga bisa disebabkan oleh tingginya suku bunga deposito sehingga menarik lebih banyak modal masyarakat ke sector perbankan daripada ke pasar modal.
Dalam hal perbankan, sector perbankan merupakan factor penghambat terbesar terhadap proses pemulihan ekonomi Indonesia sejak krisis tahun 1997, perbankan Indonesia berada di urutan terendah dalam hal standar dan kualitas,pada tahun yang sama, perbankan Indonesia masih buruk, tetapi tidak paling rawan jika dibandingkan perbankan di India dan Korea Selatan. Tingkat kerawanan dilihat dari peningkatan modal yang terjadi dibandingkan peningkatan asset tertimbang menurut jenis resiko, terutama dengan mulai pulihnya aktivitas penyaluran kredit perbankan di kawasan yang di survey.
Kalau pemerintah melakukan banyak stimulusuntuk meningkatkan kegiatan ekonomi domestic dan ekspor, ditambah lagi dengan situasi dalam negeri bisa benar-benar kondusif, aman, dan ada kepastian hokum/usaha yang membuat iklim investasi baik, dan lingkungan ekternalmendukung sepenuhnya, maka bukan tidak mungkin target tersebut bisa tercapai.

6.     Pemerintahan Indonesia Bersatu
Pada bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar, dan dalam negeri maupun Negara donor serta lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia lima tahun kedepan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Cabinet SBY dan lembaga dunia menargetkan pertumbuhkan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar sedikit diatas 6%. Perkiraan ini dilandasi oleh asunsi politik di Indonesia akan terus membaik dan factor eksternal yang kondusif, termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor penggerak utama perekonomian dunia seperti AS, Jepang, EU, dan China akan meningkat.
Pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yakni naiknya BBM di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. 2 hal ini menjadi tantangan berat bagi Presiden SBY karena jika tidak di tangani segera dan secara baik pengaruh negatifnya akan sangat besar terhadap perekonomian nasional dan akhirnya juga terhadap kehidupan masyarakat khususnya kelompok miskin.
 Kenaikan harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan pemerintah (APBN). Akibatnya pemerintah terpaksa mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak populis yakni mengurangi subsidi BBM yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam. Secara teori dampak negative dari kenaikan harga BBM terhadap kegiatan atau kegiatan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan  adalah :
·         Defisit APBN bertambah besar karena ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM semakin besar
·         Deficit APBN akan mengurangi kemampuan pemerintah lewat sisi pengeluarannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, disisi lain akan mengurangi kegiatan produksi
·         Di dalam negeri biaya produksi meningkat, dan berdampak negative terhadap ekspor yang berarti pengurangan cadangan devisa.
·         Menurunnya produksi menyebabkan berkurangnya  pendapatan usaha dan akan memperbesar defisit APBN karena pendapatan Negara berkurang.
·          Meningkatkan pengangguran dan kemiskinan juga akan menambah deficit APBN karena menurunnya pendapatan pemerintah dari pajak pendapatan, namun disisi lain, pengeluaran pemerintah terpaksa di tambah untuk membantu orang miskin
·         Peningkatkan kemiskinan akan memperburuk pertumbuhan ekonomi lewat efek permintaan yakni permintaan didalam negeri berkurang
Kenaikan harga minyak juga menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dengan volatilitas yang semakin tinggi, walaupun ada perbaikan menjelang akhir April hingga pertengahan Mei 2005. Secara fundamental, terus melemahnya nilai tukar rupiah terkait dengan memburuknya kinerja neraca pembayaran Indonesia, disamping adanya factor sentiment penguatan dollar AS secara global. Pengaruh dari factor non-ekonomi juga berperan terhadap terus melemahnya rupiah, terutama rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi di dalam negeri yang berlebihan yang membuat mereka menukarkan rupiah dengan dollar AS, terutama mengenai perkiraan dampak negative dari kenaikkan harga minya terhadap perekonomian Indonesia.
Kombinasi antara kenaikkan harga BBM dan melemahnya nilai rupiah akan berdampak pada peningkatan laju inflasi. Secara fundamental, tingginya inflasi di Indonesia disebabkan oleh masih tingginya ekspetasi inflasi terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai kenaikan administered prices dan perkembangan nilai tukar rupiah yang cenderung terus melemah. Melemahnya nilai tukar rupiah memberi tekanan terhadap inflasi di dalam negeri terutama karena tingginya ketergantungan ekonomi Indonesid terhadap Impor, namundengan tingkat yang lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya.pemerintahan SBY juga berusaha menahan tingkat inflasi serendah mungkin atau paling tidak tetap dalam satu digit.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar